TUGAS DASAR EPIDEMIOLOGI
Disusun oleh :
Celline Oktiani ( 25010113120080)
Nur Aziz Setiadi ( 25010113120046)
Ferdinandus Residul ( 25010113120050)
Dika Erniantin (25010113120072)
Agustina Prima Popylaya (25010113120080)
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
A. Latar Belakang
Indonesia sehat adalah suatu kondisi yang merupakan gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan yang dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Di era globalisasi dimana semua bidang kehidupan salah satunya bidang kesehatan mengalami perkembangan yang pesat. Keadaan ini meyebabkan terjadinya pergeseran pola hidup, peningkatan sosial, ekonomi masyarakat dan semakin luasnya jangkauan masyarakat. Globalisasi secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan masalah-masalah diberbagai bidang kehidupan tak terkecuali masalah kesehatan. Masalah kesehatan yang sering terjadi di masyarakat seperti DBD, Filariasis, Cacingan, Diare, Cikungunya, Malaria, Kusta dan lain-lain. Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas masalah kesehatan yang berkaitan dengan penyakit kusta. penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. ( Amirudin Harahap, 2000)
Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, mencegah, dan mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan masyarakat perlu disediakan dan diselenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat yang sebaik-baiknya. Selain itu upaya untuk memecahkan masalah kesehatan yang ada di masyarakat seperti penyakit kusta berkaitan dengan menentukan frekuensi distribusi (penyebaran) serta faktor determinan atau faktor-faktor yang mempengaruhi frekuansi dan penyebaran disuatu masalah kesehatan tercakup dalam suatu cabang ilmu khusus yang disebut dengan nama Epidemiologi.
Subjek dan objek epidemiologi adalah tentang masalah kesehatan. Ditinjau dari sudut epidemiologi, pemahaman tentang masalah kesehatan meliputi endemi, pandemi, epidemi dan sporadik. Dengan demikian, subjek dan objek epidemiologi berkaitan dengan masalah kesehatan secara keseluruhan oleh karena itu tidak heran jika epidemiologi dikatakan sebagai inti dari kesehatan masyarakat atau biasa dikenal The Mother Science Of Public Health Is Epidemiology. Dengan adanya cara berfikir epidemiologi maka masalah-masalah kesehatan di masyarakat dapat dipecahkan dengan cepat dan efisien.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman cara mengindentifikasi dan menganalisis masalah kesehatan (penyakit kusta) menggunakan cara berfikir epidemiologi ?
2. Bagaimana fenomena endemi,pandemi,epidemi dan sporadik di Indonesia ?
3. Mengapa Epidemiologi dikatakan sebagai The Mother Science Of Public Health Is Epidemiology ?
C. Pembahasan
1. Definisi Penyakit Kusta
Amiruddin dalam Harahap (2000) menjelaskan bahwa penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 mikron, lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel, dan bersifat asam (BTA). Bakteri ini ditemukan oleh G.H armauer Hansen pada tahun 1873. Penyakit ini bisa diderita oleh siapa saja, baik pria maupun wanita, dewasa atau anak anak. Pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis.
Menurut Depkes RI (2006) kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Depkes RI (2006) juga menjelaskan bahwa penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan psikologis.
Cara penularan penyakit ini belum diketahui secara pasti, Namun kontak dengan penderita secara terus menerus dan dalam waktu lama tampaknya sangat berperan terhadap penyebaran penyakit kusta. Cara cara penularan penyakit kusta masih merupakan tanda tanya. Namun telah diketahui pintu keluar kuman kusta dari tubuh manusia, yakni selaput lendir hidung
Epidemiologi Penyakit Kusta
a. Frekuensi Penyakit Kusta di Madura
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat, untuk tahun 2013 tercatat 394 orang yang terserang penyakit menular itu, dan pada tahun 2012 lalu tercatat sebanyak 514 penderita. Jumlah tertinggi ditemukan di kecamatan Kedungdung dan Karangpenang Sampang. Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang kesulitan menekan jumlah penderita penyakit kusta. Kondisi itu disebabkan adanya pengucilan para penderita oleh masyarakat. pengucilan tidak hanya dilakukan oleh tetangga atau masyarakat umum, tapi juga dilakukan oleh keluarga dan orang terdekat para penderita.
Angka penderita kusta di Kabupaten Sumenep sangat tinggi. Pada tahun 2013, jumlah penderita kusta mencapai 475 orang (bukan 420 seperti diungkapkan Dinkes Propinsi Jatim). Ratusan penderita itu terdiri dari tipe kusta PB sebanyak 115 orang, dan tipe MB sebanyak 360 orang. dari Januari-Juni 2013 jumlah penderita kusta memang mencapai angka 420 orang, tapi dari Januari-Desember 2013 mencapai 475 orang. Dari 475 penderita kusta yang tersebar di Kecamatan Arjasa, Talango dan Pragaan itu, terdiri dari penderita lama dan baru. Penderita kusta baru tipe PB umur 0-14 tahun mencapai 21 orang, umur 14 tahun keatas sebanyak 94 orang.
Sedangkan kusta tipe MB umur 0-14 tahun sebanyak 31 orang, umur 14 tahun lebih sebanyak 329 orang
Dari 475 penderita kusta, sebanyak 21 orang (4,49 persen) meninggal dunia, sebanyak 17 orang 3,6 persen mengalami disabilitas atau cacat. Kematian lantaran penyakit kusta itu karena daya tahan tubuhnya tidak mampu, kemudian tertindih penyakit lain.
Kabupaten Sampang mencapai 725 orang, Sumenep 420 orang, Bangkalan 340 orang
Dinkes memberi pelayanan kesehatan diantaranya program obat selama setahun yang harus dijalani penderita, namun kendalanya penderita kerap kali putus asal, sehingga Droup Out
b. Distribusi penyakit kusta di Madura
Penyakit kusta menyebar di seluruh dunia, namun sebagian kasus yang terjadi pada daerah tropis dan sub tropis. konsultan rehabilitasi kusta dari lembaga Netherlands Leprasy Relief, Firmansyah Arief mengungkapkan bahwa Indonesia menempati urutan ketiga di dunia dengan penderita terbanyak setelah India dan Brazil.
Penyebaran penyakit ini dapat terjadi karena beberapa hal termasuk distribusi geografis. Sejarah penyebaran penyakit kusta di Indonesia diduga dibawa oleh pendatang dari India yang datang ke Indonesia untuk meyebarkan agamanya dan berdagang.
Namun jika dilihat penyebarannya, di Indonesia, terjadi perbedaan distribusi. Perbedaan distribusi penyakit ini dapat terjadi karena faktor etnik. Pada kasus kusta di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa dan Melayu. Jika dilihat pada data kesehatan Indonesia tahun 2010 terdapat perbedaan yang mencolok pada jumlah penderita penyakit kusta di Jawa Timur dimana etnis terbesar adalah etnis Madura.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) telah menetapkan 33 provinsi di indonesia kedalam dua kelompok beban kusta yaitu kelompok dengan beban kusta tinggi (high endemic) dan beban kusta rendah (low endemic).
Jika dilihat dari data di atas, terjadi perbedaan distribusi penyebaran penyakit ini. Perbedan distribusi tersebut diperkuat dengan data dari Ditjen PP&PL, Kemenkes RI tahun 2011 mengenai jumlah penderita kusta (baik tipe Multi Basiler, maupun tipe Pausi Basiler) dengan jumlah penderita terbanyak pada Provinsi Jawa Timur sebanyak 4653 jiwa.
Berdasarkan data dari Ditjen PP&PL, Kemenkes RI tahun 2011, pada tahun 2010 dilaporkan terdapat kasus baru penyakit kusta dengan jenis Multi Basiler sebanyak 13.734 dan kasus tipe Pausi Basiler sebanyak 3.278 dengan Newly Case Detection rate (NCDR) sebesar 7,22 per 100.000 penduduk.
Distribusi penyakit kusta menurut orang
1. Distribusi menurut umur
Penyakit kusta jarang sekali ditemukan pada bayi. Angka kejadian penyakit kusta meningkat sesuai umur dengan puncak kejadian pada umur 10-20 tahun (Depkes RI, 2006). Penyakit kusta dapat mengenai semua umur dan terbanyak terjadi pada umur 15-29 tahun. Serangan pertama kali pada usia di atas 70 tahun sangat jarang terjadi. Di Brazil terdapat peninggian prevalensi pada usia muda, sedangkan pada penduduk imigran prevalensi meningkat di usia lanjut (Harahap, 2000). Menurut Depkes RI (2006) kebanyakan penelitian melaporkan bahwa distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui.
2. Distribusi menurut jenis kelamin
Kejadian penyakit kusta pada laki-laki lebih banyak terjadi dari pada wanita, kecuali di Afrika, wanita lebih banyak terkena penyakit kusta dari pada laki-laki (Depkes RI, 2006). Menurut Louhennpessy dalam Buletin Penelitian Kesehatan (2007) bahwa perbandingan penyakit kusta pada penderita laki-laki dan perempuan adalah 2,3 : 1,0, artinya penderita kusta pada laki-laki 2,3 kali lebih banyak dibandingkan penderita kusta pada perempuan. Menurut Noor dalam Buletin Penelitian Kesehatan (2007) penderita pria lebih tinggi dari wanita dengan perbandingannya sekitar 2 : 1.
Diagnosis dan Klasifikasi
Penderita penyakit kusta menimbulkan gejala yang jelas pada stadium lanjut dan cukup didiagnosis dengan pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan bakteriologi. Ada 3 tanda – tanda utama yang dapat menetapkan diagnosis penyakit kusta yaitu: Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf, dan adanya bakteri tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit. Pemeriksaan kerokan hanya dilakukan pada kasus yang meragukan. Apabila ditemukan pada seseorang salah satu tanda - tanda utama seperti diatas maka orang tersebut dinyatakan menderita kusta (Depkes, 2006).
Apabila petugas kesehatan ragu-ragu untuk menegakkan diagnosis, sebaiknya penderita dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk terapi anti kusta Multi Drug Therapy (MDT) agar tidak menjadi sumber penularan, selain menghindari kemungkinan cacat menjadi besar. Namun bila petugas ragu dan sulit merujuk ke rumah sakit karena alasan jauh maka orang tersebut dianggap sebagai suspek. Tanda-tanda tersangka kusta tidak dapat digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta. Tanda-tanda pada kulit tersangka penderita kusta adalah sebagai berikut : Bercak/kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh, kulit mengkilap, bercak yang tidak gatal, adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut, lepuh tidak nyeri dan tanda-tanda pada saraf adalah sebagai berikut: rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka, gangguan gerak anggota badan atau bagian muka, adanya cacat, dan luka yang tidak mau sembuh (Depkes RI, 2006).
Seseorang yang telah didiagnosis menderita kusta selanjutnya akan ditentukan tipe/klasifikasi penyakit kusta. Tujuan klasifikasi penyakit kusta adalah untuk menentukan jenis, lamanya pengobatan, waktu penderita dinyatakan sembuh dan perencanaan logistik. Menurut Depkes RI (2006) pada tahun 1982 jenis klasifikasi World Health Organization (WHO) yang dipakai oleh petugas kesehatan di seluruh Indonesia untuk menentukan penderita kusta tipe Pauci Baciler atau Multi Baciler. Pedoman untuk menentukan penyakit kusta tersebut menurut klasifikasi World Health Organization yaitu :
Tabel 2.3 Klasifikasi Kusta Menurut WHO
Kelainan kulit dan hasil pemeriksaan
|
PB
|
MB
|
1.bercak (makula) mati rasa :
a) Ukuran
b) Distribusi
c) Konsistensi
d) Batas
e) Kehilangan rasa pada bercak
f) Kehilangan kemampuan berkeringat, rambut rontok pada bercak
|
Kecil dan besar
Uniteral atau bilateral asimetris
Kering dan kasar
Tegas
Selalu ada dan jelas
Selalu ada dan jelas
|
Kecil-kecil
Bilateral simetris
Halus,berkilat
Kurang tegas
Biasanya tidak jelas,jika ada,terjadi pada yang sudah lanjut
Biasanya tidak jelas,jika ada,terjadi pada yang sudah lanjut
|
2.infiltrat :
a) Kulit
b) Membran mukosa (hidung tersumbat, pendarahan di hidung)
c) Ciri-ciri
d) Nodulus
e) Deformitas
|
Tidak ada
Tidak pernah ada
Central healing (penyembuhan di tengah)
Tidak ada
Terjadi dini
|
Ada,kadang-kadang tidak ada
Ada,kadang-kadangtidak ada
i. punched out lesion (lesi bentuk seperti donat)
ii. madarosis
iii. ginekomasti
iv. hidung pelana
v. suara sengau
Kadang-kadang ada
Biasanya simetris, terjadi lambat
|
Pencegahan Penyakit Kusta
a.) Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006)
b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pem’berian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).
b.) Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
c.) Pencegahan tertier
Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
· Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.
· Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.
Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
· Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur.
· Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
· Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
· Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada tangan.
· Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.
Faktor – Faktor Determinan
Epidemiologi sosial mengkaji saling keterkaitan antara faktor sosial dengan distribusi penyakit dalam populasi. Distrbusi penyakit kusta yang terjadi pada etnis Madura memiliki katian dengan faktor sosial.
Ada beberapa hipotesa penyebab munculnya penyakit ini dan menjadi endemik di Jawa Timur khususnya Madura yaitu:
- Kurangnya kesadaran terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan
- Mayoritas masyarakat Madura dengan status sosio-ekonomi rendah dengan pekerjaan sebagai petani garam
- “Eksklusivitas” etnis Madura dan penanganan yang kurang tepat kepada penderita.
Faktor determinan penyakit kusta di Madura
a. Lingkungan fisik
Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan menjadi salah satu penyebab munculnya penyakit kusta. Rendahnya gizi dan imunitas pada masyarakat Madura yang diakibatkan oleh gaya hidup yang tidak sehat juga berpotensi tertular penyakit kusta.Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk. Kondisi kebersihan yang buruk dan kesadaran akan penyakit kusta yang banyak terjadi di daerah jawa timur khususnya pada etnis Madura menyebabkan penyakit kusta meningkat.
b. Ekonomi
Masyarakat Madura termasuk pada golongan dengan status ekonomi rendah. Rendahnya status ekonomi menyebabkan minimnya akses terhadap pelayanan medis, Hal ini menyebabkan mereka yang telah tertular sulit untuk mendapatkan pengobatan medis yang layak. Status ekonomi yang rendah menyebabkan mereka hidup dengan sanitasi yang buruk dan akses terhadap pelayaan kesehatan sehingga mereka terkena penyakit kusta.
c. Perilaku Individu
Masyarakat Madura yang hidup di Madura rata rata adalah saudara sendiri sehingga hubungan kekerabatannya sangat dekat. Rasa persaudaraan dan loyalitas juga rasa bangga dengan etnis sendiri membuat masyarakat Madura lebih ‘eksklusif’. Mereka melakukan kegiatan bersama sama dan mendirikan tempat ibadah khusus bagi kelompok mereka. Hal ini membuat kontak satu sama lain menjadi lebih erat dan menyebabkan tertularnya bakteri Mycobacterium Leprae pada kalangan mereka sendiri, bahkan sebelum terlihat tanda atau gejala penyakit kusta. Masyarakat Madura dengan eksklusivitasnya lebih sering bersosialisasi dengan sesama etnis Madura. Dengan minimnya pengetahuan mengenai penyebaran dan gejala penyakit kusta, masyarakat Madura yang hidup dan berkontak langsung dalam waktu lama memungkinkan penyebaran penyakit ini.
Penyebab penyakit ini terus berkembang pada etnis Madura karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit kusta. Masyarakat Madura sebagian besar tidak mengetahui penyebab munculnya penyakit ini. Berdasarkan artikel yang saya baca, masyarakat Madura hidup pada lahan yang kurang subur dan kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai petani garam.
Berdasarkan stratifikasi sosial ekonomi, masyarakat Madura termasuk pada golongan dengan status sosial-ekonomi rendah. Status sosial-ekonomi memiliki pengaruh terhadap penyebab muncul dan berkembangnya penyakit ini.
Rendahnya status ekonomi menyebabkan minimnya akses terhadap pelayanan medis, hal ini menyebabkan mereka yang telah tertular sulit untuk mendapatkan pengobatan medis yang layak. Status sosial-ekonomi yang rendah juga berpengaruh terhadap sanitasi dan tindakan preventif yang bisa mereka lakukan. Selain itu, dengan mengidap penyakit kusta, mereka tidak dapat mendapatkan pekerjaan yang baik sehingga semakin membuat mereka sulit mendapatkan biaya untuk penyembuhan. Dapat disimpulkan bahwa status sosial ekonomi yang rendah menyebabkan mereka hidup dengan sanitasi yang buruk dan akses terhadap pelayaan kesehatan sehingga mereka terkena penyakit kusta. Penyakit ini menyebabkan mereka tidak mndapatkan pekerjaan yang layak sehingga status sosial ekonomi mereka semakin rendah. Penyakit kusta juga dapat menyebabkan cacat penyakit akan membuat mereka tidak dapat mendapatkan pekerjaan yang baik
Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan juga menjadi salah satu penyebab munculnya penyakit ini. Rendahnya gizi dan imunitas pada masyarakat Madura yang diakibatkan oleh gaya hidup yang tidak sehat juga berpotensi tertular penyakit kusta. Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk. Kondisi kebersihan yang buruk dan kesadaran akan penyakit kusta yang banyak terjadi di daerah jawa timur khususnya pada etnis Madura menyebabkan penyakit kusta meningkat.
Masyarakat Madura yang hidup di Madura rata rata adalah saudara sendiri sehingga hubungan kekerabatannya sangat dekat. Rasa persaudaraan dan loyalitas juga rasa bangga dengan etnis sendiri membuat masyarakat Madura lebih ‘eksklusif’. Mereka melakukan kegiatan bersama sama dan mendirikan tempat ibadah khusus bagi kelompok mereka. Hal ini membuat kontak satu sama lain menjadi lebih erat dan menyebabkan tertularnya bakteri Mycobacterium Leprae pada kalangan mereka sendiri, bahkan sebelum terlihat tanda atau gejala penyakit kusta. Masyarakat Madura dengan eksklusivitasnya lebih sering bersosialisasi dengan sesama etnis Madura. Dengan minimnya pengetahuan mengenai penyebaran dan gejala penyakit kusta, masyarakat Madura yang hidup dan berkontak langsung dalam waktu lama memungkinkan penyebaran penyakit ini. Apalagi penyebaran penyakit ini tidak terlihat dalam waktu singkat karena masa inkubasi baketri penyebab penyakit ini dalam waktu 3 samapi 10 tahun. Penderita penyakit kusta yang sudah muncul gejala gejala seperti bintik bintik putih sebenarnya telah tertular bakteri Mycobacterium Leprae sejak bertahun lalu.
Penanganan yang tidak tepat yang dilakukan oleh masyarakat Madura terhadap penderita juga menyebabkan semakin parah dan berkembangnya penyakit kusta pada etnis Madura. Mereka cenderung mengucilkan dan mengungsikan penderita penyakit kusta pada daerah terpencil seperti hutan. Pengasingan tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya, keluarga penderita malu memiliki anggota keluarga yang memiliki penyakit kusta karena mereka mengganggap penyakit ini merupakan kutukan dari Tuhan. Kedua, masyrakat takut tertular penyakit ini, sehingga mereka harus menjauhi penderita. Ketiga, masyarakat dan keluarga penderita tidak memiliki biaya dan pengetahuan yang cukup dalam pengobatan penyakit ini. Ketiga faktor tersebut menyebabkan penderita diungsikan. Namun, dengan pengungsian tersebut, penyebaran penyakit ini tidak dapat dihentikan. Karena bakteri ini masih dapat hidup dalam waktu 9 hari di luar tubuh manusia atau di lingkungan sekitar, pada suhu 27oC-30oC.
Untuk memutus persebaran penyakit ini ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta dan menberikan penyuluhan agar mereka tidak mengucilkan penderita penyakit kusta yang malah akan memperparah penyebaran. Mereka diberi penyuluhan agar bisa mendeteksi terjangkitnya penyakit ini agar bisa ditangani sedini mungkin. Kedua, meningkatkan kesadaran akan kebersihan lingkungan, karena lingkungan yang tidak bersih merupakan sumber berbagai penyakit. Ketiga, meningkatkan daya tahan tubuh atau imunitas agar tidak mudah tertular bakteri penyakit. Selain itu, pemerintah masih terus mengupayakan agar jumlah masyarakat yang tertular tidak bertambah dengan berbagai program kesehatan.
2. Fenomena Epidemi, Pandemi, Endemi dan Sporadik di Indonesia
a. Epidemi
Wabah atau epidemi adalah istilah umum untuk menyebut kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang, maupun untuk menyebut penyakit yang menyebar tersebut. Epidemi dipelajari dalam epidemiologi. Dalam epidemiologi, epidemi berasal dari bahasa Yunani yaitu “epi” berarti pada dan “demos” berarti rakyat. Dengan kata lain, epidemi adalah wabah yang terjadi secara lebih cepat daripada yang diduga. Jumlah kasus baru penyakit di dalam suatu populasi dalam periode waktu tertentu disebut incide rate (laju timbulnya penyakit).
Dalam peraturan yang berlaku di Indonesia , pengertian wabah dapat dikatakan sama dengan epidemi, yaitu “kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Atau timbulnya suatu penyakit yang menimpa sekelompok masyarakat atau suatu wilayah tertentu dalam waktu yang singkat berada dalam frekuensi yang meningkat/dengan angka kejadian yang melebihi angka normal dari kejadian penyakit tersebut.
Beberapa jumlah penderita untuk bisa dikatakan telah terjadi Epidemi sangat tergantung dari jenis penyakit, jumlah dan tipe penduduk yang tertimpa, pengalaman masa lalau, jarangnya terpajan dengan penyakit tersebut, waktu dan tempat kejadian. Dengan demikian epidemisitas sangat relatif tergantung kepada bagaumana kejadian biasanya dari penyakit tersebut di suatu wilayah yang sama, pada penduduk tertentu pada musim yang sama.
Sebagai contoh satu kasus penyakit tertentu yang lama tidak muncul kemudian tiba-tiba muncul atau suatu kasus penyakit yang sebelumnya belum pernah dikenal, muncul maka segera harus dilakukan penyelidikan epidemiologis dan jika kemudian penyakit tersebut menjadi dua kasus dalam waktu yang cepat di tempat tersebut maka ini sebagai bukti telah terjadi penularan dan dianggap telah terjadi epidemi.
Contoh fenomena dari epidemi yaitu penyakit AIDS
Remaja dan Epidemi AIDS
Secara nasional, berdasarkan data Kementerian Kese hatan temuan kasus pada usia 15-19 tahun hingga September 2013 men capai 3,2 persen. Data ini merupakan data AIDS yang artinya temuan kasus HIV pada usia tersebut bisa terja di sekitar usia 10-15 tahun. Karena secara teori temuan kasus AIDS diasumsikan terinfeksi HIV sekitar 5 sampai 10 tahun sebelumnya. Fenomena yang sama juga terjadi di daerah tidak terkecuali Provinsi Riau dan Kota Pekanbaru. Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Riau yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau hingga September 2013, temuan kasus AIDS pada usia 15 -19 tahun mencapai 2,1 %. Sementara pada usia 20-24 tahun mencapai 18 persen. Di Kota Pekanbaru, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru hingga September 2013, temuan kasus AIDS pada usia 15 -19 tahun mencapai 1,8 persen. Sementara pada usia 20-24 tahun mencapai 16,7 persen.
Data tersebut semakin diyakini banyak pihak jika dikorelasikan dengan kejadian-kejadian di lapangan. Fenomena seks bebas pada remaja masih banyak ditemukan antara lain fenomena seks bebas pada kelompok geng motor yang pernah muncul beberapa waktu lalu. Berdasarkan pengakuan dari tersangka, fenomena seks bebas merupakan hal yang biasa dan kerap terja di dalam komunitas mereka. Walaupun sebenarnya tidak semua geng motor atau club motor yang perilakunya seperti itu.
Selain itu adalah semakin maraknya kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh dan pada pelajar/siswa. Untuk mencari resep yang ampuh untuk mengatasi hal tersebut, maka penulis mengajak untuk mengidentifikasi penyebab situasi tersebut terjadi. Penyebab situasi tersebut antara lain adalah: Pertama, gaya hidup. Gaya hidup remaja saat ini sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Penggunaan sarana komunikasi salah satunya. Penggunaan telepon genggam dengan fitur-fitur canggih menjadi tren yang sedang marak. Akses internet sudah dapat dilakukan di genggaman tangan. Sebagai sebuah bentuk perkembangan teknologi, penggunaan smart phone diperlukan atau dapat dimanfaatkan.
Namun dalam kenyataannya pemanfaatan terkadang berbanding lurus dengan penyalahgunaan. Gaya hidup lainnya adalah penggunaan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat. Kemunculan klub motor dan sering adanya balapan liar merupakan refleksi dari adanya gaya hidup.
Kedua, kurangnya pendidikan kesehatan reproduksi. Pendidikan reproduksi yang dimaksud tentu saja dalam konteks pengetahuan. Selama ini informasi tentang seksualitas dianggap tabu. Padahal remaja perlu tahu tentang organ reproduksi baik dari sisi fungsi maupun apa dampak yang akan terjadi jika disalah gunakan. Dengan sifat ingin tahu yang besar, remaja akan mencari informasi di luar yang justru tidak dapat diukur manfaatnya.
Ketiga, kurangnya pengawasan. Keterbatasan waktu orangtua dan sikap pragmatisme dunia pendidikan menyebabkan pengawasan terhadap remaja menjadi berkurang. Ukuran rasa sayang orang tua cenderung dinilai dengan fasilitas yang diberikan kepada anaknya. Sementara ukuran keberhasilan dunia pendidikan lebih diukur dengan perolehan nilai siswa pada saat ujian. Akibatnya dunia pendidikan juga sangat pragmatis dengan mengupayakan sekuat tenaga agar perolehan nilai khususnya nilai Ujian Nasional menjadi tinggi.
Berdasarkan hal tersebut diatas terdapat beberapa langkah atau upaya yang dapat dilakukan. Langkah atau upaya ini juga didasarkan pada pengalaman empiris selama penulis terlibat dalam upaya penanggulangan AIDS di KPA Kota Pekanbaru. Upaya tersebut adalah sebagai berikut:
· Pertama, perlunya pendidikan atau pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi remaja. Upaya ini sebenarnya sudah dilakukan melalui berbagai program antaralain pembentukan kelompok siswa yang tergabung dalam Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R). Pembentukan PIK-R belum direspon oleh semua sekolah. Aktivasi PIK-R yang sudah dibentuk juga patut terus dilakukan dan tidak sekedar dibentuk. Oleh sebab itu peran sekolah menjadi penting untuk hal tersebut. Kegiatan PIK-R dapat dilakukan dan dikemas deng an kegiatan-kegiatan sederhana dan tidak memerlukan biaya yang besar dan tentu saja disesuaikan dengan situasi sekolah.
· Kedua, Perlunya pendidikan karakter (caracter building). Pendidikan karakter ini dilakukan agar siswa memiliki norma dan etika baik norma agama maupun norma dalam kehidupan sehari-hari. Upaya ini perlu ditopang juga dengan teknis atau cara guru pada saat mengajar. Karena pada hakekatnya guru tidak hanya berkewajiban mengajar tapi juga mendidik. Peran orang tua juga menjadi penting. Bentuk kasih sayang orang tua diharapkan tidak hanya dibuktikan dengan berapa banyak fasilitas yang sudah diberikan kepada anaknya. Peningkatan pemahaman agama pada remaja menjadi penting untuk upaya ini. Dengan bekal pengetahuan dan pengamalan agama yang cukup diharapkan remaja lebih protektif pada hal-hal negatif.
Oleh sebab itu peran tokoh agama, tokoh masyarakat juga penting untuk pendidikan karakter. Ukuran-ukuran keberhasilan remaja juga diharapkan tidak hanya diukur dari capaian-capaian angka kuantitatif.
· Ketiga, pengaturan dunia penyiaran. Upaya ini penting dilakukan karena perilaku remaja yang hadir padahari ini tidak telepasdari informasi yang diterimaremaja. Dan salah satu sumber informasi tersebut adalah informasi dari media massa. Situasi hari ini, materi siaran media sangat mengikuti tren rating. Materi dan substansi yang disampaikan cenderung diabaikan. Tayangan-tayangan yang sebenarnya tidak sesuai dengan norma-norma menjadi marak dan ditayangkan pada jam utama atau primetime.
Peran ini melekat pada pemerintah dan lembaga pemerintah antaralain Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Upaya yang dilakukan apapun bentuknya, tetap memerlukan dukungan semua pihak. Karena apapun yang berhubungan dengan keprihatinan pada dunia remaja akan berpengaruh pada masa depan kita sebagai bangsa. Karena remaja merupakan generasi penerus bangsa. Tanggung jawabnya tidak hanya pada guru tetapi juga pada orangtua, keluarga, masyarakat danpemerintah.
b. Pandemi
Pandemi atau epidemi global atau wabah global adalah kondisi dimana terjangkitnya penyakit menular pada banyak orang dalam daerah geografi yang luas. Berasal dari bahasa Yunani “pan” yang artinya semua dan “demos” yang artinya rakyat
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), suatu pandemi dikatakan terjadi bila ketiga syarat berikut telah terpenuhi :
• Timbulnya penyakit bersangkutan merupakan suatu hal baru pada populasi bersangkutan,
• Agen penyebab penyakit menginfeksi manusia dan menyebabkan sakit serius,
• Agen penyebab penyakit menyebar dengan mudah dan berkelanjutan pada manusia.
Contoh fenomena pandemi yatu flu babi.
Penderita flu babi di Indonesia terus bertambah. Departemen Kesehatan mengkonfirmasi 18 kasus baru positif influenza A H1N1. Adanya kasus baru ini membuat jumlah penderita secara kumulatif mencapai 948 orang yang tersebar di 24 provinsi di Indonesia. Cara yang efektif untuk mencegah adalah menjaga kondisi tubuh tetap sehat dan bugar yakni makan dengan gizi seimbang, beraktivitas fisik/berolahraga, istirahat yang cukup dan mencuci tangan pakai sabun. Selain itu, bila batuk dan bersin tutup hidung dengan sapu tangan atau tisu. Jika ada gejala Influenza minum obat penurun panas, gunakan masker dan tidak ke kantor/sekolah/tempat-tempat keramaian serta beristirahat di rumah selama 5 hari. Apabila dalam 2 hari flu tidak juga membaik segera pergi ke dokter. Upaya kesiapsiagaan tetap dijalankan pemerintah yaitu dengan penguatan Kantor Kesehatan Pelabuhan (thermal scanner dan Health Alert Card wajib diisi), penyiapan RS rujukan; penyiapan logistik, penguatan pelacakan kontak, penguatan surveilans ILI, penguatan laboratorium, komunikasi, edukasi dan informasi dan mengikuti International Health Regulations (IHR). Disamping itu juga dilakukan community surveilans yaitu masyarakat yang merasa sakit flu agak berat segera melapor ke Puskesmas, sedangkan yang berat segera ke rumah sakit. Selain itu, clinical surveilans yaitu surveilans severe acute respiratory infection (SARI) ditingkatkan di Puskesmas dan rumah sakit untuk mencari kasus-kasus yang berat. Sedangkan kasus-kasus yang ringan tidak perlu dirawat di rumah sakit.
c. Endemi
Endemi adalah penyakit yang umum terjadi pada laju konstan namun cukup tinggi pada suatu populasi. Berasal dari bahasa Yunani “en” yang artinya di dalam dan “demos” yang artinya rakyat. Terjadi pada suatu populasi dan hanya berlangsung di dalam populasi tersebut tanpa adanya pengaruh dari luar.
Dalam bahasa percakapan, penyakit endemik sering diartikan sebagai suatu penyakit yang ditemukan pada daerah tertentu, sebagai contoh AIDS sering dikatakan “endemik” di Afrika. Walaupun kasus AIDS di Afrika masih terus meningkat (sehingga tidak dalam keadaan tunak endemik) lebih tepat untuk menyebut kasus AIDS di Afrika sebagai suatu epidemi.
Contoh fenomena yang terjadi yaitu malaria.
Indonesia bagian timur merupakan daerah yang masih sangat tinggi angka kasus malarianya. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan yang menunjukkan bahwa Papua, Papua Barat, dan NTT menjadi 3 provinsi yang memiliki angka kasus malaria terbesar. Dibanding DKI Jakarta yang saat ini dilanda banjir besar, angka kasus malaria di Papua dan Papua Barat itu jauh lebih besar. Bahkan di NTT juga besar.
Dari 93,2 persen konfirmasi kasus malaria yang ada di Indonesia sepanjang tahun 2013, Papua memiliki angka kasus malaria terbesar, yaitu 42,65 persen. Adapun Papua Barat sebesar 38,44 dan NTT sebesar 16,37. Dari 93,2 persen konfirmasi, pengobatan yang dilakukan sudah mencapai 84,4 persen. Namun Indonesia Timur ini yang memang masih tinggi.
Selain itu, tingginya perbedaan endemisitas antar daerah juga dianggap menjadi tantangan upaya penanggulangan malaria ini. Untuk itu, pemerintah melakukan pemetaan strategi daerah endemis untuk membagi fokus. Faktor risiko, seperti lingkungan dan iklim, juga menjadi tantangan dan hambatan dalam upaya pemerintah bersama keterbatasan akses pelayanan kesehatan. Memang harus diakui bahwa wilayah Indonesia timur memiliki keterbatasan pelayanan, dibanding dengan Indonesia barat dan tengah.
Dan untuk itulah, pemerintah memang ingin lebih menguatkan mutu layanan dan akses di Indonesia timur demi memeratakan penanggulangan malaria ini. Kasus malaria sendiri dianggap menjadi salah satu program prioritas Kementerian Kesehatan Indonesia.
Dari 93,2 persen konfirmasi kasus malaria yang ada di Indonesia sepanjang tahun 2013, Papua memiliki angka kasus malaria terbesar, yaitu 42,65 persen. Adapun Papua Barat sebesar 38,44 dan NTT sebesar 16,37. Dari 93,2 persen konfirmasi, pengobatan yang dilakukan sudah mencapai 84,4 persen. Namun Indonesia Timur ini yang memang masih tinggi.
Selain itu, tingginya perbedaan endemisitas antar daerah juga dianggap menjadi tantangan upaya penanggulangan malaria ini. Untuk itu, pemerintah melakukan pemetaan strategi daerah endemis untuk membagi fokus. Faktor risiko, seperti lingkungan dan iklim, juga menjadi tantangan dan hambatan dalam upaya pemerintah bersama keterbatasan akses pelayanan kesehatan. Memang harus diakui bahwa wilayah Indonesia timur memiliki keterbatasan pelayanan, dibanding dengan Indonesia barat dan tengah.
Dan untuk itulah, pemerintah memang ingin lebih menguatkan mutu layanan dan akses di Indonesia timur demi memeratakan penanggulangan malaria ini. Kasus malaria sendiri dianggap menjadi salah satu program prioritas Kementerian Kesehatan Indonesia.
d. Sporadik
Sporadik adalah adalah suatu keadaan dimana suatu masalah kesehatan ( umumnya penyakit) yang ada di suatu wilayah tertentu frekuensinya berubah-ubah menurut perubahan waktu
Contoh fenomena yang terjadi adalah hepatitis.
Pada tahun 2013 lebih dari 20 juta penduduk di Indonesia sudah terinfeksi virus hepatitis, baik hepatitis A, B maupun C. Tingginya angka prevalensi hepatitis tersebut mendorong pemerintah untuk segera melakukan pengendalian dan penanggulangannya.
Diakui pengetahuan masyarakat tentang penyakit hepatitis masih tergolong rendah. Termasuk hal-hal yang menjadi factor penyebab timbulnya hepatitis, bagaimana mencegahnya dan bagaimana mengobatinya.
Setiap jenis hepatitis itu berbeda-beda. Karena itu pendidikan kepada masyarakat itu sangatlah penting. Hepatitis sesungguhnya memiliki banyak jenis virus. Namun di Indonesia kasus hepatitis lebih banyak ditemukan pada hepatitis A, B, C, E dan G. Sedang virus hepatitis D hampir tak pernah dilaporkan.
Dari sekian banyak jenis virus hepatitis tersebut menurut Tjandra, yang paling banyak dan berpengaruh terhadap morbiditas, mortalitas serta ekonomi adalah virus hepatitis A, B dan C. Masing-masing memiliki cara pencegahan yang berbeda.
Untuk hepatitis C, pencegahan dan penanggulangannya lebih kepada menjaga kebersihan makanan dan proses pembuatan makanan. Hepatitis B yaitu dengan imunisasi dan hepatitis C dengan menjaga perilaku baik yaitu tidak bertukaran jarum suntik.
Untuk hepatitis C, pencegahan dan penanggulangannya lebih kepada menjaga kebersihan makanan dan proses pembuatan makanan. Hepatitis B yaitu dengan imunisasi dan hepatitis C dengan menjaga perilaku baik yaitu tidak bertukaran jarum suntik.
Hepatitis B bisa dicegah dengan imunisasi. Untuk itu pemberian imunisasi pada balita dan remaja sangatlah penting. Sementara untuk hepatitis C, sampai saat ini Indonesia belum mempunyai vaksinnya sehingga upaya pencegahan hanya bisa dilakukan melalui promosi perilaku hidup bersih dan sehat. Virus hepatitis pada dasarnya menyerang organ hari.
Penyakit tersebut merupakan penyebab kematian terbanyak ke-2 dalam kelompok penyakit infeksi. Khusus untuk hepatitis B, masih menjadi masalah kesehatan global mengingat sekitar 2 miliar orang saat ini diduga terinfeksi virus hepatitis B. dari angka tersebut 240 juta diantaranya menjadi hepatitis kronik (menahun) dan 25 persen diantaranya meninggal dunia.
Karena menjadi persoalan kesehatan global, Indonesia pada 2011 mengusulkan kepada Executive Board WHO untuk menjadikan hepatitis sebagai isu dunia dengan melakukan penanganan komprehensif dan menetapkan sebagai resolusi WHA tentang hepatitis virus.
3. Epidemiologi ilmu kunci dari Kesehatan Masyarakat
Epidemiologi sebagai inti dari kesehatan masyarakat atau the mother science of public health. Kalimat itu muncul dari seorang pemimpin besar dunia kesehatan masyarakat C.E.A. Winslow bernama Bakley. Epidemiologi merupakan cabang keilmuan dari Ilmu Kesehatan Masyarakat ( Publik Health ) yang menekankan perhatiannya terhadap keberadaan penyakit dan masalah kesehatan lainnya dalam masyarakat. Keberadaan penyakit masyarakat itu didekati oleh epidemiologi secara kuantitatif. Karena itu, epidemiologi akan mewujudkan dirinya sebagai suatu metode pendekatan banyak memberikan perlakuan kuantitatif dalam menjelaskan masalah kesehatan.
Beberapa definisi telah dikemukakan oleh para pakar epidemiologi, beberapa diantaranya adalah :
1.Greenwood ( 1934 ) Mengatakan bahwa Epidemiologi mempelajari tentang penyakit dan segala macam kejadian yang mengenai kelompok ( herd ) penduduk. Kelebihannya adalah adanya penekanan pada Kelompok Penduduk yang mengarah kepada Distribusi suatu penyakit.
2.Brian Mac Mahon ( 1970 ) Epidemiology is the study of the distribution and determinants of disease frequency in man. Epidemiologi adalah Studi tentang penyebaran dan penyebab frekwensi penyakit pada manusia dan mengapa terjadi distribusi semacam itu. Di sini sudah mulai menentukan Distribusi Penyakit dan mencari Penyebab terjadinya Distribusi dari suatu penyakit.
3.Wade Hampton Frost ( 1972 ) Mendefinisikan Epidemiologi sebagai Suatu pengetahuan tentang fenomena massal ( Mass Phenomen ) penyakit infeksi atau sebagai riwayat alamiah ( Natural History ) penyakit menular. Di sini tampak bahwa pada waktu itu perhatian epidemiologi hanya ditujukan kepada masalah penyakit infeksi yang terjadi/mengenai masyarakat/massa.
4.Anders Ahlbom & Staffan Norel ( 1989 ) Epidemiologi adalah Ilmu Pengetahuan mengenai terjadinya penyakit pada populasi manusia.
5.Gary D. Friedman ( 1974 ) Epidemiology is the study of disease occurance in human populations.
6.Abdel R. Omran ( 1974 ) Epidemiologi adalah suatu ilmu mengenai terjadinya dan distribusi keadaan kesehatan, penyakit dan perubahan pada penduduk, begitu juga determinannya serta akibat – akibat yang terjadi pada kelompok penduduk.
7. Barbara Valanis Epidemiology is term derived from the greek languang ( epid = upon ; demos = people ; logos = science ).
8.Last ( 1988 ) Epidemiology is study of the distribution and determinants of health – related states or events in specified population and the application of this study to control of problems.
9.Elizabeth Barrett Epidemiology is study of the distribution and causes of diseases.
10.WHO (Regional committee Nacting ke 42 di Bandung) : Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan dari peristiwa kesehatan dan peristiwa lainnya yang berhubungan dengan kesehatan yang menimpa sekelompok masyarakat dan menerapkan ilmu tersebut untuk memecahkan masalah-masalah tersebut.
Sedangkan dalam pengertian modern pada saat ini EPIDEMIOLOGI adalah : “Ilmu yang mempelajari tentang Frekuensi dan Distribusi (Penyebaran) serta Determinan masalah kesehatan pada sekelompok orang/masyarakat serta Determinannya (Faktor – factor yang Mempengaruhinya).
Tujuan dari epidemiologi yaitu:
1. Mendeskripsikan distribusi, kecenderungan dan riwayat alamiah penyakit atau keadaan kesehatan populasi
2. Menjelaskan etiologi penyakit
3. Meramalkan kejadian penyakit
4. Mengendalikan distribusi penyakit dan masalah kesehatan.
5. Sasaran epidemiologi: Populasi manusia atau komunitas berbeda dengan ilmu kedokteran yaitu individu pasien.
Dalam epidemiologi terdapat hal pokok yakni:
1. Frekuensi masalah kesehatan.
Frekuensi yang dimaksudkan disini menunjuk kepada besarnya masalah kesehatan yang terdapat pada sekelompok manusia.
2. Penyebaran masalah kesehatan.
Penyebaran masalah keshatan disini menunjuk pada pengelompokan masalah kesehatan menurut suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu tersebut yaitu
a. Menurut Ciri – ciri Manusia ( MAN )
b. Menurut Tempat ( PLACE )
c. Menurut Waktu ( TIME )
3. Faktor – faktor determinan
Menunjuk kepada faktor penyebab dari suatu penyakit / masalah kesehatan baik yang menjelaskan Frekwensi, penyebaran ataupun yang menerangkan penyebab munculnya masalah kesehatan itu sendiri. Dalam hal ini ada 3 langkah yang lazim dilakukan yaitu :
a. Merumuskan Hipotesa tentang penyebab yang dimaksud.
b. Melakukan pengujian terhadap rumusan Hipotesa yang telah disusun.
c. Menarik kesimpulan.
Kesimpulan
Epidemiologi merupakan cabang keilmuan dari Ilmu Kesehatan Masyarakat ( Public Health ) yang menekankan perhatiannya terhadap keberadaan penyakit dan masalah kesehatan lainnya dalam masyarakat. Keberadaan penyakit masyarakat itu didekati oleh epidemiologi secara kuantitatif. Karena itu, epidemiologi akan mewujudkan dirinya sebagai suatu metode pendekatan banyak memberikan perlakuan kuantitatif dalam menjelaskan masalah kesehatan. Dengan cara berfikir epidemiologi seperti frekuensi, distribusi dan faktor-faktor determinan maka masalah kesehatan yang ada di masyarakat bisa teratas karena epidemiologi merupakan inti dari kesehatan masyarakat atau yang biasa dikenal “ The Mother Science Of Public Health”
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia. Kementrian Kesehatan, Pusat Data dan Informasi. 2010. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Sunarto, Kamanto. 2009. Sosiologi kesehatan. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
Weiss, Gregory L., & Lonnquist, Lynne E. 2010. Health, Healing, and Illness Second Edition.New Jersey : Prentice Hall.
“Ratusan Warga Pamekasan Idap Kusta”, dalamhttp://www.mediaindonesia.com/read/2010/12/02/185445/125/101/Ratusan-Warga-Pemekasan-Idap-Kusta (diakses tanggal 6 Januari 2012)
“Endemis Penyakit Kusta Sangat Tinggi di Jatim”, dalam http://www.tribun-news.com/pendidikan-kesehatan/endemis-penyakit-kusta-sangat-tinggi-di-jatim.html(diakses tanggal 6 Januari 2012)
“Peneiti : Kondisi Terbatas, Masyarakat madura Sensitif”, dalamhttp://oase.kompas.com/read/2011/12/09/04051588/Peneliti.Kondisi.Terbatas.Masyarakat.Madura.Sensitif(diakses tanggal 6)
“Informasi Kusta dan gejalanya”, dalam http://doktersehat.com/informasi-kusta-dan-gejalanya/ (diakses tanggal 6 Januari 2012)
0 komentar:
Posting Komentar